Monday, June 27, 2016

PERNIKAHAN: Potret Masyarakat Indonesia

Oleh: Pudji Tursana


http://www.suarakita.org/event/bincang-buku-menikah-sebuah-novel-bersama-jane-maryam/


“Jadi Mbak Jane, menurut Mbak secara pribadi, bagaimanakah menikah itu?”
“Menikah itu complicated, very complicated.”

Dari yang rumit itu, Jane Maryam dalam novelnya berjudul Menikah, dengan hati-hati memotret pernikahan di Indonesia. Ada lima kisah  dari para tokohnya, yang di akhir kisah saling berjumpa dan memiliki hubungan dalam berbagai peristiwa.
Kisah pernikahan yang berkelindan antara pernikahan tradisional dan modern mengawali novel ini. Lelaki sebagai kepala keluarga dengan kekuasaan yang besar dan perempuan sebagai istri yang aktif di ruang ekonomi dan bisnis. Dalam kisah itu diperlihatkan pula bagaimana absolutnya kekuasaan kepala keluarga, sehingga ia boleh membuat keputusan sepihak untuk membangun harem dengan melakukan poligami. Para istri tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan, karena memang poligami adalah sah dalam aturan para tokohnya (Islam).
Kisah kedua, seorang pekerja seks profesional yang memiliki pendapat sendiri tentang perkawinan dan otoritas atas tubuhnya. Ia bersikap kritis terhadap tawaran untuk menjadi istri kesekian dari seorang laki-laki.
Selanjutnya, kisah yang tampaknya cinta ideal insan antarbangsa. Satu hal yang menarik pada kisah ini, seolah nasib dan keberuntungan perempuan Indonesia akan lebih menjanjikan jika ia bersuamikan lelaki asing kulit putih. Sangat disadari bahwa masyarakat Indonesia masih mengalami post colonial syndrome. Sebuah kesadaran palsu, seolah segala hal yang berbau Eropa-Amerika atau asing akan lebih bagus, hebat, menjamin dan memberikan masa depan cerah.
Pada dua kisah selanjutnya, Jane Maryam mengambil langkah yang sangat genial dan berani dengan mengungkapkan relasi percintaan dan harapan untuk bisa menikah pada pasangan LGBT (Lesbian Gay Biseks dan Transgender/seks). Kisah relasi sepasang lesbian dan relasi antara laki-laki dan transgender.  
Novel diakhiri dengan kisah perjumpaan semua tokoh yang ternyata saling memiliki kisah bersama satu sama lain.
Menurut Renal Rinoza, yang hadir sebagai pembedah, novel Menikah satu karya sastra LGBT yang masih bisa dikembangkan dengan optimal, baik dalam tema maupun bentuknya. Layaknya karya sastra pascareformasi, novel ini mengangkat isu seksualitas dan tema LGBT disisipkan di dalamnya.
Perkawinan dengan pola dan nilai tradisional digugat pada novel ini. Ia mempertanyakan absolutisme dan cara seorang lelaki sebagai kepala keluarga memimpin keluarganya. Dipertanyakan, bagaimana bisa seorang laki-laki sebagai suami atau ayah dianggap paling mengetahui apa yang terbaik bagi hidup atau tubuh istri atau anak perempuan? Bagaimana sebuah keluarga tega ‘menjual’ anak perempuan mereka demi keberlangsungan hidup keluarga besar, syukur-syukur taraf hidup keluarga besar akan meningkat (naik kelas).
Novel ini memperlihatkan keberpihakan pada insan LGBT. Ada latar belakang kisah tokoh yang nampak tragis dan pesimis,  karena sang tokoh insan LGBT. Namun hal tersebut seolah batu penjuru yang justru memantapkan sang tokoh untuk terus maju dan berjuang memantapkan diri dalam kehidupan. Hal itu memberi kesan yang optimis dalam situasi yang pesimis. Pendekatan berkisah dengan cara ini sangat menarik. Kepada publik diperlihatkan keniscayaan insan LGBT dan disposisinya yang turut berkontribusi dalam kehidupan.
Aspek edukasi pun tak luput dari perhatian Jane Maryam sebagai novelis. Hal itu tampak dari upaya untuk menginformasikan berbagai nilai kemanusiaan yang universal.  Bagaimana cara seseorang sintas dari perundungan dan kekerasan yang dialami. Bagaimana relasi intim antarmanusia juga banyak tantangan terlepas dari orientasi seksual orang yang bersangkutan. Bagaimana relasi seksual dalam berbagai konteks jaman niscaya terkait oleh kekuasaan dan pandangan laki-laki yang misoginis. Dan bagaimana konsep seksualitas dipertarungkan antara seks sebagai cara untuk prokreasi dan seks sebagai cara untuk rekreasi.
Membaca novel ini, kita dihadapkan pada berbagai pola relasi antarkelas, dengan utamanya relasi pernikahan pada kelas menengah atas. Menikah adalah sebuah cara untuk kelas bawah naik kelas ke kelas menengah, kelas menengah naik kelas ke kelas atas. Atau antarkelas atas memantapkan diri dalam status quo kelasnya yang ‘di atas angin’. Pernikahan dianggap sebuah jalan untuk lepas dari kemiskinan. Namun tidak tertutup kemungkinan, insan yang merasa tertindas dalam sangkar emas akan berani keluar dari zona aman dan mendobrak kemapanan. Hal itu terjadi pada salah satu tokoh yang melepaskan diri dari status pernikahannya karena ia tidak ingin dimadu.
Para tokoh novel ini datang dari kelas pekerja menengah atas yang  berjuang untuk kebebasan dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi dan materi. Mereka memiliki posisi tawar yang tinggi untuk menentukan cara hidup dan dengan siapa ingin menikah. Para tokoh ini membicarakan pernikahan dan menyikapinya dengan kritis. Setiap tokoh memiliki kesadaran dan pengetahuan yang realis bahwa cinta yang erotik (eros) dan emosional saja, tidak cukup untuk menjadi modal dalam menikah. Hal-hal lain yang mendukung dalam pernikahan adalah kekuatan ekonomi dan kemampuan mengelola relasi kuasa yang tumbuh dan berkembang di antara insan yang menikah.
Dalam konteks insan LGBT dan kelas pekerja, masih amat terbentang luas peluang yang inspiratif untuk mengembangkan sastra LGBT. Bagaimana situasi insan LGBT yang bekerja di pabrik? Bagaimana insan LGBT sebagai petani, nelayan, guru, dan lain-lain?
Kembali kepada Jane Maryam, novel Menikah telah memperlihatkan realitas sosial masyarakat Indonesia. Komplikasi yang ditangkap dengan cermat dan diwujudkan dalam kisah yang apik.[]

Tuesday, May 24, 2016

STONEWALL: Sebuah Tembok Batu Tempat Kita Berkaca

Oleh: Pudji Tursana


sumber: http://www.suarakita.org/event/nonton-bareng-film-stonewall/
Dalam rangka memperingati IDAHOT[1] 2016, Suara Kita[2] mengadakan acara nonton film Stonewall yang dilanjutkan dengan diskusi dan refleksi atas film tersebut. Stonewall, film tentang gerakan akar rumput untuk kesetaraan dan kebebasan kaum LGBTIQ[3] di Amerika Serikat pada sekitar awal tahun 1970-an.

Tuesday, December 15, 2015

Peluncuran dan Diskusi Antologi Cerpen "Para Penyintas dari Pamulang ke Papua"



Perempuan Berbagi bergotong-royong dengan 12 organisasi mahasiswa, komunitas musik, lukis, sastra dan penerbit indi di Kota Tangsel & Jakarta, menyelenggarakan kelas menulis dan menerbitkan antologi cerpen Para Penyintas: Dari Pamulang ke Papua.  Penerbitan buku ini bertujuan menyuarakan anak dan perempuan korban kekerasan dalam upaya membuka hati dan pikiran pembuat kebijakan (negara), kalangan budayawan, masyarakat dan keluarga untuk lebih memahami situasi korban kekerasan. Sehingga, negara dan masyarakat semakin tanggap memberikan dukungan dan perlindungan pada anak dan perempuan korban kekerasan.


Harapannya, upaya jalan sastra ini dapat saling memperkuat dengan advokasi kebijakan, upaya hukum, dan bidang lain yang sedang terus dijalankan oleh berbagai pihak.


Cerpen pada buku ini, sebagian besar ditulis oleh korban-penyintas dan pendamping korban. Sebagian sudah sintas, sebagian masih dalam proses perjuangan pemulihan hak-haknya. Enam dari 20 penulis dari kalangan sastrawan dan akademisi yang bersolidaritas pada pencegahan dan penanggulangan kekerasan.



Salam berbagi.

Monday, November 23, 2015

Amanat pasal 15 UU No 23 Tahun 2004: Kewajiban Masyarakat Mencegah dan Memberikan Perlindungan pada korban KDRT

Dewi Nova*

Dian Agusdiana bersama Bapak-bapak RT 02/06 Perumahan Reni Jaya, Pamulang, memberi masukan pertolongan pertama pada korban kekerasan (dok. Perempuan Berbagi)
Menengahi; memberikan perlindungan pada korban; memberikan pertolongan pertama atau membawa korban ke puskesmas terdekat; melapor ke polisi; menguatkan korban dengan memberikan dukungan mental pada korban. Itulah beberapa tindakan yang akan dilakukan ibu-ibu dan bapak-bapak bila terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungannya. Pendapat tersebut mereka sampaikan pada Pelatihan Lingkungan Ramah Perempuan dan Anak tahap II yang diselenggarakan Perempuan Berbagi dan PKK RT 02, RW 06 Perumahan Reni Jaya di Pamulang Barat (21/11/2015). Pelatihan ini bagian dari rangkaian aksi Kampanye 16 Hari Penuh Cinta (25 November - 10 Desember) di Kota Tangsel, Banten.

Thursday, November 19, 2015

Pahlawan Perempuan

Memeriksa Kontruksi Gelar Pahlawan 
 Oleh : Dewi Nova Wahyuni
Para pahlawan perempuan Indonesia
Lima hari sebelum peringatan hari pahlawan, Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan kepada lima laki-laki –(alm) Bernard Wilhem Lapian, Mas Iman, Komjen Pol Moehammad Jasin, I Gusti Ngurah Made Agung dan Ki Bagus Hadikusumo. Kelimanya dikukuhkan sebagai pahlawan nasional melalui keputusan presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2015. Pengukuhan gelar pahlawan itu menggenapkan jumlah pahlawan di Indonesia menjadi 168 (1959 – 2015). Pengukuhan tahun 2015 yang semuanya dianugrahkan pada warga laki-laki itu juga mengukuhkan semakin surutnya pemberian gelar pahlawan pada warga perempuan.